Definisi Konflik :
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan
atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain,
sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya
ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada
dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang
telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi
atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993,
p.4)
Menurut Wood, Walace,
Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik
(dalam ruang lingkup organisasi) adalah:
Conflict
is a situation which two or more people disagree over issues of organisational
substance and/or experience some emotional antagonism with one another.
yang kurang lebih memiliki arti bahwa konflik adalah suatu situasi
dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan
yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan
permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut Stoner Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal
alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai,
persepsi, atau kepribadian. (Wahyudi, 2006:17)
Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai:
1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama
lain.
2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).
Ciri-Ciri Konflik :
Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang
terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun
kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya
nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku
yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap
pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung
jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan
kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau
pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri,
kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan
yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang
terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan,
kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Tahapan-Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik :
1. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan
tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum
mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti
timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat
dirasakan (felt conflict)
Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang
ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai
mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik,
yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah
ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat
memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak,
maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi
produkivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41).
Sumber-Sumber Konflik :
1. Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
A. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan
tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan pendekatan
positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi tujuan-tujuan yang dicapai
saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan
pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan pada
waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap persoalan-persoalan tersebut
dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negatif bagi orang yang
mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari dua
atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah
satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict merupakan jenis konflik yang
mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi, serta akibatnya tidak begitu
fatal.
Dampak
Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang
rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan
pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak
positif akan muncul melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai
sumber daya manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam
menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen
tanpa alasan yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu
jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja
meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini
terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis
pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi
secara sehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti
terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi,
loyalitas, kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik
yang dapat membuat stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini
karena karyawan memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri,
penghargaan dalam keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier
dan potensi dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya
sesuai dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan
(training) dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan
produktivitas kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya
disebabkan oleh kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan
untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik.
Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya
karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol
berjam-jam sambil mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir
menyibukkan diri, tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal
atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau
perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan
tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa
memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan,
kondisi psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk
konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa
tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya,
timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah
tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri
bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap
jalannya produksi, dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja,
mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan
orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk
dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran
dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet,
kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan
memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan
kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat
perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian
teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka
kembali, dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus
memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan
rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh
perseorangan atau tim karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya,
bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan.
Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat
membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota
tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan
perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka
perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang
karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama
kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang,
manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada
bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos
kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).
Strategi Mengatasi Konflik
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah
meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut
ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan
bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah
kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada
masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan
telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan
sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang
memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian
yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali
menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian.
Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan
arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian
masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke
langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga memaparkan bahwa ketika
mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah
konflik, yaitu:
1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang
lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila
wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
2. Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan
hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan
pihak ketiga.
3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada.
Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting.
Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
jurnal-sdm.blogspot.com/.